Minggu, 12 Februari 2017

Paradigma Pengelolaan Sampah Kota [Tinjauan Pustaka]


Perkembangan kota dan permasalahan lingkungan
Perkembangan kota akan diikuti pertambahan jumlah penduduk, yang juga akan di ikuti oleh masalah – masalah sosial dan lingkungan. Salah satu masalah lingkungan yang muncul adalah masalah persampahan. Permasalahan lingkungan yang terjadi akan menyebabkan penurunan kualitas lingkungan (Alkadri dkk, 1999).
Sampah akan menjadi beban bumi, artinya ada resiko-resiko yang akan ditimbulkannya (Hadi, 2000). Ketidak pedulian terhadap permasalahan pengelolaan sampah berakibat terjadinya degradasi kualitas lingkungan yang tidak memberikan kenyamanan untuk hidup, sehingga akan menurunkan kualitas kesehatan masyarakat. Degradasi tersebut lebih terpicu oleh pola perilaku masyarakat yang tidak ramah lingkungan, seperti membuang sampah di badan air (Alkadri dkk, 1999) sehingga sampah akan menumpuk di saluran air yang ada dan menimbulkan berbagai masalah turunan lainnya. Kondisi ini sering terjadi di wilayah-wilayah padat penduduk di perkotaan.


Pengertian Sampah
Peningkatan aktivitas  masyarakat  akan  meningkatkan  jumlah sampah  yang  dihasilkan.  Sampah  yang  dihasilkan  tidak  hanya  sampah organik  melainkan  juga  sampah  anorganik.  Banyaknya  sampah  yang dihasilkan  harus  diolah  dengan  sebaik  mungkin  agar  tidak  menimbulkan efek  negatif  seperti  mencemari  lingkungan  yang  mana  dapat  berdampak pada  kesehatan  masyarakat,  banjir,  penyumbatan  sistem  drainase  dan sebagainya.  Kesadaran  untuk  mengolah  sampah  dengan  baik  didalam masyarakat masih minim, hal ini dapat dilihat dari anggapan masyarakat mengenai  sampah  itu  sendiri.
Masyarakat  pada  umumnya  menganggap bahwa sampah merupakan barang sisa yang sudah tidak berguna lagi dan harus  dibuang.  Terdapat  beberapa  definisi  mengenai  sampah  yang meliputi: (1) Menurut  Kamus  Besar  Bahasa  Indonesia,  sampah  merupakan  barang atau benda yang dibuang karena tidak terpakai lagi. (2) Kamus  Lingkungan  dalam  Basriyanta  (2007),  sampah  adalah  bahan yang  tidak  mempunyai  nilai  atau  tidak  berharga  untuk  digunakan secara basa atau khusus dalam produksi atau pemakaian; barang rusak atau cacat selama manufaktur; atau materi berlebihan atau buangan. (3) Basriyanta  (2007),  sampah  merupakan  barang  yang  dianggap  sudah tidak  terpakai  dan  dibuang  oleh  pemilik/pemakai  sebelumnya,  tetapi masih bisa dipakai kalau dikelola dengan prosedur yang benar. (4) UU  RI  No  18  Tahun  2008,  Sampah  merupakan  sisa  dari  aktivitas manusia ataupun sisa dari proses alam yang berpentuk padat. (5) Anonim (2008),  sampah adalah suatu bahan yang dibuang atau dibuang dari sumber aktivitas manusia atau alam yang belum memiliki nilai ekonomis.

Sistem pengelolaan sampah
Sistem pengelolaan sampah adalah proses pengelolaan sampah yang meliputi 5 (lima) aspek/komponen yang saling mendukung dimana antara satu dengan yang lainnya saling berinteraksi untuk mencapai tujuan (SNI 19-2454-2002). Kelima aspek tersebut meliputi: aspek teknis operasional , aspek organisasi dan manajemen, aspek hukum dan peraturan, aspek bembiayaan, aspek peran serta masyarakat. Kelima aspek tersebut di atas ditunjukkan pada gambar berikut ini. 
Gambar 1. Skema manajemen pengelolaan sampah
(Sumber : Departemen Pekerjaan Umum, (SNI 19-2454-2002)

Dari gambar tersebut terlihat bahwa dalam sistem pengelolaan sampah antara aspek teknis operasional, organisasi, hukum, pembiayaan dan peran serta masyarakat saling terkait, tidak dapat berdiri sendiri. 

Stakeholders dalam pengelolaan sampah perkotaan
Stakeholders dalam pembangunan secara lengkap (Haryanto, 2001) disebutkan sebagai politikus dan pemerintah, planner, pengusaha, penduduk/masyarakat, pers, LSM, dan informal leader. Sebagaimana pada proses pembangunan lainnya maka stakeholdersyang terlibat dalam pengelolaan sampah adalah: Pemerintah; Masyarakat; Swasta; Para ahli dan akademisi (perencana profesional).
Masing-masing stakeholders akan berinteraksi satu sama lain sesuai dengan fungsi dan perannya. Adapun fungsi dan peran dasar dari masing-masing stakeholders antara lain, Widyatmoko dan Sintorini (2002):
a.       Pemerintah           : berperan sebagai regulator, fasilitator)
b.      Masyarakat           : pengelola sampah ; pemanfaat hasil dan proses,
c.       Swasta                  : penanam modal
d.      Para Ahli dan akademisi: perencana.
e.       LSM                     : pendamping, fasilitator
Peran dan fungsi tersebut, dalam perkembangannya dimungkinkan untuk berubah. Perubahan-perubahan ini terjadi sebagai adanya kemandirian masyarakat dalam mengelola persampahan di lingkungannya, konsekuensi dari penerapan konsep partisipatif dalam sistem pengelolaan sampah yang dirumuskan bersama. Penerapan konsep partisipatif memungkinkan masyarakat mengelola sampah rumah tangganya secara mandiri dengan dibantu oleh LSM sebagai fasilitator dan pendamping dalam kegiatan pengelolaan sampah masyarakat secara mandiri tersebut. Dengan demikian, kebijakan tidak lagi sepenuhnya di tangan pemerintah, Widyatmoko dan Sintorini (2002).

Dampak jika sampah tidak dikelola
Menurut Gelbert dkk (1996), jika sampah tidak dikelola dengan baik akan menimbulkan dampak negatif terhadap manusia dan lingkungan, yaitu:
1. Dampak terhadap kesehatan
Lokasi dan pengelolaan sampah yang kurang memadai (pembuangan sampah yang tidak terkontrol) merupakan tempat yang cocok bagi beberapa organisme dan menarik bagi berbagai binatang seperti lalat dan anjing yang dapat menjangkitkan penyakit. Potensi bahaya kesehatan yang dapat ditimbulkan adalah sebagai berikut (Gelbert dkk, 1996):
a.       Penyakit diare, kolera, tifus menyebar dengan cepat karena virus yang berasal dari sampah dengan pengelolaan tidak tepat dapat bercampur air minum.
b.      Penyakit jamur dapat juga menyebar (misalnya jamur kulit).
c.       Penyakit yang dapat menyebar melalui rantai makanan. Salah satu contohnya adalah suatu penyakit yang dijangkitkan oleh cacing pita (taenia). Cacing ini sebelumnnya masuk ke dalam pencernakan binatang ternak melalui makanannya yang berupa sisa makanan / sampah.
d.      Sampah beracun: Telah dilaporkan bahwa di Jepang kira-kira 40.000 orang meninggal akibat mengkonsumsi ikan yang telah terkontaminasi oleh raksa (Hg). Raksa ini berasal dari sampah yang dibuang ke laut oleh pabrik yang memproduksi baterai dan akumulator.
2. Dampak terhadap lingkungan
Cairan rembesan sampah (lindi) yang masuk ke dalam drainase atau sungai akan mencemari air. Berbagai organisme termasuk ikan dapat mati sehingga beberapa spesies akan lenyap, hal ini mengakibatkan berubahnya ekosistem perairan biologis. Penguraian sampah yang dibuang ke dalam air akan menghasilkan asam organik dan gas cair organik, seperti metana. Selain berbau kurang sedap, gas ini dalam konsentrasi tinggi dapat meledak (Gelbert dkk., 1996).
3. Dampak terhadap keadaan sosial dan ekonomi
Dampak-dampak tersebut menurut Gelbert dkk (1996) adalah sebagai berikut:
a.       Pengelolaan sampah yang kurang baik akan membentuk lingkungan yang kurang menyenangkan bagi masyarakat: bau yang tidak sedap dan pemandangan yang buruk karena sampah bertebaran dimana-mana.
b.      Memberikan dampak negatif terhadap kepariwisataan.
c.       Meningkatnya pembiayaan secara langsung (untuk mengobati orang sakit) dan pembiayaan secara tidak langsung (tidak masuk kerja, rendahnya produktivitas).
d.      Pembuangan sampah padat ke badan air dapat menyebabkan banjir dan akan memberikan dampak bagi fasilitas pelayanan umum seperti jalan, jembatan, drainase, dan lain-lain.
e.       Infrastruktur lain dapat juga dipengaruhi oleh pengelolaan sampah yang tidak memadai, seperti tingginya biaya yang diperlukan untuk pengelolaan air. Jika sarana penampungan sampah yang kurang atau tidak efisien, orang akan cenderung membuang sampahnya di jalan. Hal ini mengakibatkan jalan perlu lebih sering dibersihkan dan diperbaiki.
Paradigma baru pengelolaan sampah
Pengganti sistem penumpukan sampah di tempat pembuangan akhir yang banyak diprotes masyarakat, pemerintah kini mendorong penerapan pengelolaan sampah dengan sistem 3R (reuse, reduce, dan recycle) pada skala kota. Program pengelolaan sampah terpadu dengan prinsip pengunaan kembali, daur ulang dan pengurangan (reuse, recycle, reduce/3R) ini bermanfaat untuk menjaga kelestarian lingkungan. Dengan prinsip tersebut, jumlah sampah yang dibuang ke TPA tinggal 35 persen sehingga meringankan beban TPA sekaligus memperpanjang masa pemakaiannya. Undang-undang RI nomor 18 tahun 2008 tentang Pengelolaan Sampah menegaskan bahwa pengelolaan sampah harus dilakukan secara komprehensif sejak hulu sampai hilir. Pada tingkat perumahan atau kelurahan, dilakukan kegiatan pengurangan sampah melalui program 3R.
Dalam  pengelolaan  menuju zero waste, proses pemilahan dan pengolahan harus dilaksanakan di sumber sampah, baik bersamaan maupun secara berurutan dengan pewadahan sampah. Pengelolaan sampah diawali dari lokasi timbulan sampah atau produsen sampah. Sampah dipisah antara sampah organik dan sampah anorganik, dan ditempatkan pada wadah sampah yang berbeda. Sampah organik untuk diproses menjadi kompos, sedangkan sampah anorganik biasanya dimanfaatkan untuk didaur ulang maupun dimanfaatkan kembali. Proses selanjutnya baik pengumpulan, pemindahan maupun pengangkutan sampah yang telah terpilah diusahakan jangan tercampur kembali. Upaya ini untuk meningkatkan efisiensi pengolahan sampah.

Pengelolaan sampah dengan konsep 3R (Reduse, Reuse, Recycle)
Sistem pengelolaan sampah rumah tangga berbasis masyarakat dengan prinsip 3R melalui kegiatan pemilahan sampah merupakan solusi paradigmatik, yaitu solusi dari paradigma cara mengelola sampah. Dari paradigma ”membuang sampah” yang dalam prakteknya hanya memindahan sampah, menjadi ”mengelola sampah” dalam arti memilah untuk dimanfaatkan yang pada prakteknya dapat mereduksi secara signifikan timbulan sampah yang dibuang. Pilot project pengelolaan sampah rumah tangga berbasis masyarakat di Gondolayu Lor, Kota Yogyakarta, telah berhasil dilaksanakan dengan prinsip 3R (Reduce, Reuse, Recycle) melalui proses pemilahan sampah. Model yang diterapkan mampu mereduksi volume sampah yang dibuang hingga 70% (Faizah, 2008).
Keengganan warga untuk mengelola sampah biasanya didasari karena ketidak tahuan warga akan bahaya sampah untuk lingkungan maupun keuntungan yang bisa didapatkan warga apabila melakukan pengelolaan sampah (Samuel, 2014). Dengan pengelolaan yang baik pengelolaan sampah yang dilakukan oleh sektor informal akan menghasilkan nilai ekonomi yang cukup besar. 65% dari responden mengandalkan pengelolaan sampah sebagai sumber pendapatan utamanya, dengan rata-rata pendapatan diatas standart pedapatan minimal di kota tersebut (Burcea, 2015).
Keuntungan yang didapat dari melakukan pengelolaan sampah antara lain: perubahan perilaku masyarakat yaitu masyarakat menjadi semakin sadar lingkungan, tidak membuang sampah sembarangan, membersihkan lingkungan tanpa dikoordinasi, keberadaan pemulung semakin terkontrol. Perubahan fisik lingkungan yaitu lingkungan yang awalnya kotor menjadi bersih, lingkungan yang awalnya tandus menjadi hijau dan sejuk, lingkungan yang kumuh menjadi lingkungan yang sehat. Peningkatan sosial ekonomi warga yaitu masyarakat menjadi semakin kuat dalam solidaritas dengan warga sekitar lingkungannya karena interaksi yang intens, pendapatan masyarakat meningkat melalui kegiatan dan hasil pengolahan sampah, banyak warga sekitar daerah atau bahkan luar negeri belajar mengelola sampah didaerah tersebut sehigga daerah tersebut menjadi daerah yang bergengsi. Semakin kuatnya modal sosial dalam masyarakat yang ditandai dengan meningkatnya tingkat kepercayaan masyarakat, kemampuan merajut norma dan perluasan jaringan (Handayani, 2008).
Pengelolaan  sampah  melalui  bank  sampah  memiliki  prospek  keberlanjutan karena  dari  aspek  ekonomi  dapat  memberikan  tambahan  pendapatan  dan mengurangi biaya operasional pengelolaan sampah kota. Selain itu, dari aspek ekologi  keberadaan  bank  sampah  mampu  mereduksi  sampah  yang  akan dibuang  ke  TPA  dan  mengurangi  potensi  terbentuknya  gas  CH4 karena sampah adalah salah satu penyumbang gas rumahkaca serta manfaat langsung yang  diperoleh  warga  dengan  kondisi  lingkungan  yang  semakin  bersih  dan nyaman. Keberadaan  bank  sampah  secara  sosial  dapat  diterima  oleh masyarakat,  terlihat  dengan  adanya  partisipasi  masyarakat  dan  komunikasi antar semua stakeholder.
Pembelajaran (lessons learned)  yang dapat diambil dalam menerapkan sistem bank sampah di daerah lain, maka diperlukan: adanya  peran  masyarakat  penghasil  sampah  dalam  pengelolaan  sampah dengan  prinsip  3R  di  bank  sampah  yang  diawali  dengan  kegiatan pemilahan sampah. Adanya  masyarakat  pengelola  sampah  mengelola  sampah  yang  telah terpilah melalui bank sampah. Adanya  masyarakat  pemanfaat  sampah  yang  terdiri  dari  pengepul  dan pengrajin daur ulang sampah untuk mengolah sampah yang telah terpilah. Adanya masyarakat pemerhati lingkungan yang melakukan pendampingan untuk  mensosialisasikan  pengelolaan  sampah  dengan  prinsip  3R  melalui bank sampah. Adanya  dukungan  pemerintah  dengan  melakukan  sosialisasi  dan implementasi peraturan serta penyediaan sarana dan prasarana pengelolaan sampah.
Untuk dapat mencari dan kemudian menemukenali bentuk pengelolaan persampahan berkelanjutan berdasarkan peran serta masyarakat adalah pertama dengan melakukan identifikasi terhadap keinginan (preferensi) masyarakat, sehingga bisa didapatkan gambaran sejauh mana masyarakat mau berperan serta dalam pengelolaan persampahan. Kedua identifikasi kondisi peran serta stakeholderdan masyarakat untuk pengelolaan saat ini agar bisa didapatkandidapatkan gambaran potensi dan kendala sekaligus format dan atau konsep bentuk pengelolaan. Ketiga identifikasi bentuk pengelolaan saat ini dan potensi ekonomi yang mungkin untuk dimanfaatkan. Selanjutnya hasil identifikasi dan analisa tersebut dintregasikan dan disinergikan menjadi bentuk pengelolaan yang tepat (Kristiyanto, 2007).
Pemilihan konsep pengelolaan tidak hanya memperhatikan dampak yang ditimbulkan sampah tersebut namun juga memperhatikan kebudayaan dan sosioekonomi yang dapat ditimbulkan sampah tersebut perlu diperhatikan untuk mengelola sampah berkebelanjutan (Ansari, 2011). Pengelolaan sampah yang mengandalkan daur ulang memiliki nilai ekonomi paling tinggi apabila dibandingkan dengan teknologi pengomposan, pengurugan, maupun insenerator (Chang dkk, 2012). Salah satu faktor yang menentukan keberlanjutan suatu pengelolaan yang berbasis partisipasi masyarakat adalah adanya kebutuhan masyarakat yang belum bisa terpenuhi oleh pemerintah maupun sektor formal lain (Kruljac, 2012).

Tidak ada komentar:

Posting Komentar