Perkembangan kota dan permasalahan lingkungan
Perkembangan kota akan diikuti pertambahan
jumlah penduduk, yang juga akan di ikuti oleh masalah – masalah sosial dan
lingkungan. Salah satu masalah lingkungan yang muncul adalah masalah persampahan.
Permasalahan lingkungan yang terjadi akan menyebabkan penurunan kualitas
lingkungan (Alkadri dkk, 1999).
Sampah akan menjadi beban bumi, artinya
ada resiko-resiko yang akan ditimbulkannya (Hadi, 2000). Ketidak pedulian terhadap permasalahan pengelolaan
sampah berakibat terjadinya degradasi kualitas lingkungan yang tidak memberikan
kenyamanan untuk hidup, sehingga akan menurunkan kualitas kesehatan masyarakat.
Degradasi tersebut lebih terpicu oleh pola
perilaku masyarakat yang tidak ramah lingkungan, seperti membuang sampah di
badan air (Alkadri dkk, 1999) sehingga sampah
akan menumpuk di saluran air yang ada dan menimbulkan berbagai masalah turunan
lainnya. Kondisi ini sering terjadi di wilayah-wilayah padat penduduk di
perkotaan.
Pengertian
Sampah
Peningkatan aktivitas masyarakat
akan meningkatkan jumlah sampah
yang dihasilkan. Sampah
yang dihasilkan tidak
hanya sampah organik melainkan
juga sampah anorganik.
Banyaknya sampah yang dihasilkan harus
diolah dengan sebaik
mungkin agar tidak
menimbulkan efek negatif seperti
mencemari lingkungan yang
mana dapat berdampak pada kesehatan
masyarakat, banjir, penyumbatan
sistem drainase dan sebagainya. Kesadaran
untuk mengolah sampah
dengan baik didalam masyarakat masih minim, hal ini dapat
dilihat dari anggapan masyarakat mengenai
sampah itu sendiri.
Masyarakat pada
umumnya menganggap bahwa sampah
merupakan barang sisa yang sudah tidak berguna lagi dan harus dibuang.
Terdapat beberapa definisi mengenai
sampah yang meliputi: (1) Menurut Kamus
Besar Bahasa Indonesia,
sampah merupakan barang atau benda yang dibuang karena tidak
terpakai lagi. (2) Kamus Lingkungan dalam
Basriyanta (2007), sampah
adalah bahan yang tidak
mempunyai nilai atau
tidak berharga untuk
digunakan secara basa atau khusus dalam produksi atau pemakaian; barang
rusak atau cacat selama manufaktur; atau materi berlebihan atau buangan. (3) Basriyanta (2007),
sampah merupakan barang
yang dianggap sudah tidak
terpakai dan dibuang
oleh pemilik/pemakai sebelumnya,
tetapi masih bisa dipakai kalau dikelola dengan prosedur yang benar. (4)
UU RI
No 18 Tahun
2008, Sampah merupakan
sisa dari aktivitas manusia ataupun sisa dari proses
alam yang berpentuk padat. (5) Anonim (2008), sampah adalah suatu bahan yang dibuang atau dibuang
dari sumber aktivitas manusia atau alam yang belum memiliki nilai ekonomis.
Sistem pengelolaan sampah
Sistem pengelolaan sampah
adalah proses pengelolaan sampah yang meliputi 5 (lima) aspek/komponen yang
saling mendukung dimana antara satu dengan yang lainnya saling berinteraksi
untuk mencapai tujuan (SNI 19-2454-2002). Kelima aspek tersebut meliputi: aspek
teknis operasional , aspek organisasi dan manajemen, aspek hukum dan peraturan,
aspek bembiayaan, aspek peran serta masyarakat. Kelima aspek tersebut di atas
ditunjukkan pada gambar berikut ini.
Gambar 1.
Skema manajemen pengelolaan sampah
(Sumber :
Departemen Pekerjaan Umum, (SNI 19-2454-2002)
Dari gambar tersebut terlihat
bahwa dalam sistem pengelolaan sampah antara aspek teknis operasional,
organisasi, hukum, pembiayaan dan peran serta masyarakat saling terkait, tidak
dapat berdiri sendiri.
Stakeholders dalam pengelolaan sampah perkotaan
Stakeholders dalam pembangunan secara lengkap (Haryanto, 2001) disebutkan sebagai
politikus dan pemerintah, planner,
pengusaha, penduduk/masyarakat, pers, LSM, dan
informal leader. Sebagaimana pada proses pembangunan lainnya maka
stakeholdersyang terlibat dalam pengelolaan sampah adalah: Pemerintah;
Masyarakat; Swasta; Para ahli dan akademisi (perencana profesional).
Masing-masing stakeholders akan berinteraksi satu sama
lain sesuai dengan fungsi dan perannya. Adapun fungsi dan peran dasar dari
masing-masing stakeholders antara
lain, Widyatmoko dan Sintorini (2002):
a.
Pemerintah : berperan
sebagai regulator, fasilitator)
b.
Masyarakat : pengelola sampah ; pemanfaat hasil dan proses,
c.
Swasta : penanam modal
d.
Para Ahli dan akademisi: perencana.
e.
LSM : pendamping, fasilitator
Peran dan fungsi tersebut,
dalam perkembangannya dimungkinkan untuk berubah. Perubahan-perubahan ini
terjadi sebagai adanya kemandirian masyarakat dalam mengelola persampahan di
lingkungannya, konsekuensi dari penerapan konsep partisipatif dalam sistem
pengelolaan sampah yang dirumuskan bersama. Penerapan konsep partisipatif
memungkinkan masyarakat mengelola sampah rumah tangganya secara mandiri dengan
dibantu oleh LSM sebagai fasilitator dan pendamping dalam kegiatan pengelolaan sampah
masyarakat secara mandiri tersebut. Dengan demikian, kebijakan tidak lagi sepenuhnya
di tangan pemerintah, Widyatmoko dan Sintorini (2002).
Dampak jika sampah tidak dikelola
Menurut Gelbert dkk (1996), jika
sampah tidak dikelola dengan baik akan menimbulkan dampak negatif terhadap
manusia dan lingkungan, yaitu:
1. Dampak terhadap kesehatan
Lokasi dan pengelolaan sampah yang
kurang memadai (pembuangan sampah yang tidak terkontrol) merupakan tempat yang
cocok bagi beberapa organisme dan menarik bagi berbagai binatang seperti lalat
dan anjing yang dapat menjangkitkan penyakit. Potensi bahaya kesehatan yang
dapat ditimbulkan adalah sebagai berikut (Gelbert dkk, 1996):
a.
Penyakit diare, kolera, tifus menyebar dengan cepat karena virus yang
berasal dari sampah dengan pengelolaan tidak tepat dapat bercampur air minum.
b.
Penyakit jamur dapat juga menyebar (misalnya jamur kulit).
c.
Penyakit yang dapat menyebar melalui rantai makanan. Salah satu contohnya
adalah suatu penyakit yang dijangkitkan oleh cacing pita (taenia). Cacing ini
sebelumnnya masuk ke dalam pencernakan binatang ternak melalui makanannya yang
berupa sisa makanan / sampah.
d.
Sampah beracun: Telah dilaporkan bahwa di Jepang kira-kira 40.000 orang
meninggal akibat mengkonsumsi ikan yang telah terkontaminasi oleh raksa (Hg).
Raksa ini berasal dari sampah yang dibuang ke laut oleh pabrik yang memproduksi
baterai dan akumulator.
2. Dampak terhadap lingkungan
Cairan rembesan sampah (lindi)
yang masuk ke dalam drainase atau sungai akan mencemari air. Berbagai organisme
termasuk ikan dapat mati sehingga beberapa spesies akan lenyap, hal ini
mengakibatkan berubahnya ekosistem perairan biologis. Penguraian sampah yang
dibuang ke dalam air akan menghasilkan asam organik dan gas cair organik,
seperti metana. Selain berbau kurang sedap, gas ini dalam konsentrasi tinggi
dapat meledak (Gelbert dkk., 1996).
3. Dampak terhadap keadaan sosial dan ekonomi
Dampak-dampak tersebut menurut
Gelbert dkk (1996) adalah sebagai berikut:
a.
Pengelolaan sampah yang kurang baik akan membentuk lingkungan yang kurang
menyenangkan bagi masyarakat: bau yang tidak sedap dan pemandangan yang buruk
karena sampah bertebaran dimana-mana.
b.
Memberikan dampak negatif terhadap kepariwisataan.
c.
Meningkatnya pembiayaan secara langsung (untuk mengobati orang sakit) dan
pembiayaan secara tidak langsung (tidak masuk kerja, rendahnya produktivitas).
d.
Pembuangan sampah padat ke badan air dapat menyebabkan banjir dan akan
memberikan dampak bagi fasilitas pelayanan umum seperti jalan, jembatan,
drainase, dan lain-lain.
e.
Infrastruktur lain dapat juga dipengaruhi oleh pengelolaan sampah yang
tidak memadai, seperti tingginya biaya yang diperlukan untuk pengelolaan air.
Jika sarana penampungan sampah yang kurang atau tidak efisien, orang akan
cenderung membuang sampahnya di jalan. Hal ini mengakibatkan jalan perlu lebih
sering dibersihkan dan diperbaiki.
Paradigma baru pengelolaan sampah
Pengganti sistem penumpukan
sampah di tempat pembuangan akhir yang banyak diprotes masyarakat, pemerintah
kini mendorong penerapan pengelolaan sampah dengan sistem 3R (reuse, reduce,
dan recycle) pada skala kota. Program pengelolaan sampah terpadu dengan prinsip
pengunaan kembali, daur ulang dan pengurangan (reuse, recycle, reduce/3R) ini
bermanfaat untuk menjaga kelestarian lingkungan. Dengan prinsip tersebut,
jumlah sampah yang dibuang ke TPA tinggal 35 persen sehingga meringankan beban
TPA sekaligus memperpanjang masa pemakaiannya. Undang-undang RI nomor 18 tahun
2008 tentang Pengelolaan Sampah menegaskan bahwa pengelolaan sampah harus
dilakukan secara komprehensif sejak hulu sampai hilir. Pada tingkat perumahan
atau kelurahan, dilakukan kegiatan pengurangan sampah melalui program 3R.
Dalam pengelolaan
menuju zero waste, proses pemilahan dan pengolahan harus dilaksanakan di
sumber sampah, baik bersamaan maupun secara berurutan dengan pewadahan sampah.
Pengelolaan sampah diawali dari lokasi timbulan sampah atau produsen sampah.
Sampah dipisah antara sampah organik dan sampah anorganik, dan ditempatkan pada
wadah sampah yang berbeda. Sampah organik untuk diproses menjadi kompos,
sedangkan sampah anorganik biasanya dimanfaatkan untuk didaur ulang maupun
dimanfaatkan kembali. Proses selanjutnya baik pengumpulan, pemindahan maupun pengangkutan
sampah yang telah terpilah diusahakan jangan tercampur kembali. Upaya ini untuk
meningkatkan efisiensi pengolahan sampah.
Pengelolaan sampah dengan konsep 3R (Reduse, Reuse, Recycle)
Sistem pengelolaan sampah rumah
tangga berbasis masyarakat dengan prinsip 3R melalui kegiatan pemilahan sampah merupakan
solusi paradigmatik, yaitu solusi dari paradigma cara mengelola sampah. Dari
paradigma ”membuang sampah” yang dalam prakteknya hanya memindahan sampah,
menjadi ”mengelola sampah” dalam arti memilah untuk dimanfaatkan yang pada prakteknya
dapat mereduksi secara signifikan timbulan sampah yang dibuang. Pilot project pengelolaan
sampah rumah tangga berbasis masyarakat di Gondolayu Lor, Kota Yogyakarta,
telah berhasil dilaksanakan dengan prinsip 3R (Reduce, Reuse, Recycle) melalui
proses pemilahan sampah. Model yang diterapkan mampu mereduksi volume sampah
yang dibuang hingga 70% (Faizah, 2008).
Keengganan warga untuk mengelola sampah biasanya didasari
karena ketidak tahuan warga akan bahaya sampah untuk lingkungan maupun
keuntungan yang bisa didapatkan warga apabila melakukan pengelolaan sampah
(Samuel, 2014). Dengan pengelolaan yang baik pengelolaan sampah yang dilakukan
oleh sektor informal akan menghasilkan nilai ekonomi yang cukup besar. 65% dari
responden mengandalkan pengelolaan sampah sebagai sumber pendapatan utamanya,
dengan rata-rata pendapatan diatas standart pedapatan minimal di kota tersebut
(Burcea, 2015).
Keuntungan yang didapat dari melakukan pengelolaan sampah
antara lain: perubahan perilaku masyarakat yaitu masyarakat menjadi semakin sadar
lingkungan, tidak membuang sampah sembarangan, membersihkan lingkungan tanpa
dikoordinasi, keberadaan pemulung semakin terkontrol. Perubahan fisik
lingkungan yaitu lingkungan yang awalnya kotor menjadi bersih, lingkungan yang
awalnya tandus menjadi hijau dan sejuk, lingkungan yang kumuh menjadi
lingkungan yang sehat. Peningkatan sosial ekonomi warga yaitu masyarakat
menjadi semakin kuat dalam solidaritas dengan warga sekitar lingkungannya
karena interaksi yang intens, pendapatan masyarakat meningkat melalui kegiatan
dan hasil pengolahan sampah, banyak warga sekitar daerah atau bahkan luar
negeri belajar mengelola sampah didaerah tersebut sehigga daerah tersebut
menjadi daerah yang bergengsi. Semakin kuatnya modal sosial dalam masyarakat
yang ditandai dengan meningkatnya tingkat kepercayaan masyarakat, kemampuan
merajut norma dan perluasan jaringan (Handayani, 2008).
Pengelolaan
sampah melalui bank
sampah memiliki prospek
keberlanjutan karena dari aspek
ekonomi dapat memberikan
tambahan pendapatan dan mengurangi biaya operasional pengelolaan
sampah kota. Selain itu, dari aspek ekologi
keberadaan bank sampah
mampu mereduksi sampah
yang akan dibuang ke
TPA dan mengurangi
potensi terbentuknya gas CH4
karena sampah adalah salah satu penyumbang gas rumahkaca serta manfaat langsung
yang diperoleh warga
dengan kondisi lingkungan
yang semakin bersih
dan nyaman. Keberadaan bank sampah
secara sosial dapat
diterima oleh masyarakat, terlihat
dengan adanya partisipasi
masyarakat dan komunikasi antar semua stakeholder.
Pembelajaran (lessons
learned) yang dapat diambil dalam
menerapkan sistem bank sampah di daerah lain, maka diperlukan: adanya peran
masyarakat penghasil sampah
dalam pengelolaan sampah dengan prinsip
3R di bank
sampah yang diawali
dengan kegiatan pemilahan sampah.
Adanya masyarakat pengelola
sampah mengelola sampah
yang telah terpilah melalui bank
sampah. Adanya masyarakat pemanfaat
sampah yang terdiri
dari pengepul dan pengrajin daur ulang sampah untuk mengolah
sampah yang telah terpilah. Adanya masyarakat pemerhati lingkungan yang
melakukan pendampingan untuk
mensosialisasikan
pengelolaan sampah dengan
prinsip 3R melalui bank sampah. Adanya dukungan
pemerintah dengan melakukan
sosialisasi dan implementasi
peraturan serta penyediaan sarana dan prasarana pengelolaan sampah.
Untuk dapat mencari dan kemudian menemukenali bentuk
pengelolaan persampahan berkelanjutan berdasarkan peran serta masyarakat adalah
pertama dengan melakukan identifikasi terhadap keinginan (preferensi)
masyarakat, sehingga bisa didapatkan gambaran sejauh mana masyarakat mau
berperan serta dalam pengelolaan persampahan. Kedua identifikasi kondisi peran
serta stakeholderdan masyarakat untuk pengelolaan saat ini agar bisa
didapatkandidapatkan gambaran potensi dan kendala sekaligus format dan atau
konsep bentuk pengelolaan. Ketiga identifikasi bentuk pengelolaan saat ini dan
potensi ekonomi yang mungkin untuk dimanfaatkan. Selanjutnya hasil identifikasi
dan analisa tersebut dintregasikan dan disinergikan menjadi bentuk pengelolaan
yang tepat (Kristiyanto, 2007).
Pemilihan konsep pengelolaan
tidak hanya memperhatikan dampak yang ditimbulkan sampah tersebut namun juga
memperhatikan kebudayaan dan sosioekonomi yang dapat ditimbulkan sampah
tersebut perlu diperhatikan untuk mengelola sampah berkebelanjutan (Ansari,
2011). Pengelolaan sampah yang mengandalkan daur ulang memiliki nilai ekonomi
paling tinggi apabila dibandingkan dengan teknologi pengomposan, pengurugan,
maupun insenerator (Chang dkk, 2012). Salah satu faktor yang menentukan
keberlanjutan suatu pengelolaan yang berbasis partisipasi masyarakat adalah
adanya kebutuhan masyarakat yang belum bisa terpenuhi oleh pemerintah maupun
sektor formal lain (Kruljac, 2012).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar